Senin, 05 Maret 2012

TRANSPLANTASI KARANG BATU (Acropora formosa ) DENGAN MENGGUNAKAN SUBSTRAT (BETON) DI PERAIRAN PANTAI SULAMADAHA KOTA TERNATE


I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu keanekaragaman hayati yang hidup di laut adalah terumbu karang. Jumlah jenis karang batu (hard coral) di Indonesia tercatat sebanyak 590 jenis, yang didominasi oleh karang dari genus Acropora (91 jenis), Montipora (29 jenis) dan Porites (14 jenis) (Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007).
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme – organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993 dalam Wikipedia, 2009).
Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas  dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993) dalam (Wikipedia, 2009). Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular) seperti Gymnodinium microadriatum yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai/laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 °C (Nybakken, 1982).
Veron (1995) dan Wallace (1998) dalam Anonim (2010)  mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) dalam Anonim (2010) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25oC sampai 29oC. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).
Sutanta, (2006) mengatakan bahwa selama setengah abad terakhir, kualitas terumbu karang (coral reef) di pulau-pulau kecil Indonesia telah turun hingga 50%. Tercatat antara tahun 1989-2000, keberadaan terumbu karang dengan tutupan karang hidup sebesar telah menurun dari 36% menjadi 29%.
Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh dua faktor yang pertama adalah kegiatan manusia (anthropogenic process) dan kerusakan yang terjadi secara alamiah (natural process) (Supriharyono 2000). Kerusakan terumbu karang ini lebih banyak disebabkan karena aktivitas manusia. Secara umum ada dua jenis aktivitas manusia yang memicu kerusakan terumbu karang. Pertama, pengambilan ikan secara berlebih. Kedua, pengambilan ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Pengambilan ikan dengan menggunakan bom dan sianida masih sering terjadi di Indonesia. Sebagai akibat kerusakan terumbu karang, terjadi abrasi atau pengikisan garis pantai secara serius. Sedangkan untuk kerusakan terumbu karang yang ada di daerah wisata umumnya diakibatkan oleh rendahnya kesadaran wisatawan maupun penyedia jasa wisata bahari, seperti membuang sampah di laut, menginjak-injak terumbu karang dan memperjualbelikan cinderamata dari terumbu karang (Zulhasni dkk, 2010 dalam Prastowo, 2011). Pada saat yang sama, memburuknya abrasi juga menyebabkan kerusakan karang dalam luasan yang cukup besar.
Terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya alam pesisir yang ada di Maluku Utara yang penyebarannya tersebar luas dan belum mendapat perhatian serius tentang permasalahan didalamnya terutama yang terdapat di perairan pantai Sulamadaha. Perairan pantai Sulamadaha yang terdapat di Kota Ternate termasuk salah satu tempat wisata bahari yang memiliki terumbu karang yang sangat indah dan menarik. Namun sangat disayangkan, terumbu karang yang terdapat disekitar perairan tersebut terancam rusak. Kondisi terumbu karang yang berada di perairan pantai Sulamadaha hampir tergolong rusak apabila ditinjau dari kategori luas tutupan yaitu 56,5% (Ahmad, 2009).
Dalam upaya pelestarian dan pengembangan pantai Sulamadaha sebagai tempat wisata bahari maka perlu segera diambil tindakan nyata untuk menjaga kelestarian ekosistem karang melalui upaya rehabilitasi sumberdaya karang, salah satu upaya tersebut dapat dilakukan melalui teknologi transplantasi karang sehingga kelestarian dari ekosistem karang dapat terjaga.
Spesies karang untuk transplantasi dewasa ini dominan dilakukan pada karang yang  bercabang misalnya jenis Acropora sp. karena karang tersebut memiliki tingkat ketahanan hidup yang besar, sangat indah, kecepatan pertumbuhannya tinggi dan memiliki kemampuan yang besar dalam menutupi daerah ekosistem terumbu karang yang kosong (Harriot and Fisk, 1988 dalam Miftakhul, 2006). Selain itu dipilihnya genus Acropora formosa sebagai genus karang yang ditransplantasikan di perairan Sulamadaha karena genus ini mudah dijumpai serta memiliki distibusi yang banyak dibandingkan dengan 18 genus  Acropora sp lainnya yang ada di perairan Sulamadaha (Ahmad, 2009).
Dalam upaya menanggulangi masalah tersebut khususnya dalam rangka memulihkan kembali fungsi dan peranan ekosistem terumbu karang sebagai habitat biota laut perlu segera diambil tindakan nyata untuk menjaga kelestarian ekosistem karang melalui upaya rehabilitasi sumber daya karang yang sudah mengalami kerusakan. Salah satu upaya tersebut dapat dilakukan melalui transplantasi karang.
Pelaksanaan transplantasi karang telah banyak dipraktekkan di berbagai pulau di Indonesia. Akan tetapi biasanya transplantasi dilakukan dengan meletakkan sejenis kerangka barang, misalnya kerangka kapal. Mobil, dll yang nantinya diharapkan akan menjadi tempat tinggal baru bagi ikan.
Berdasarkan uraian singkat diatas maka dianggap perlu melakukan penelitian tentang Transplantasi Karang Batu (Acropora formosa) dengan menggunakan substrat (Beton) di Perairan pantai Sulamadaha Kota Ternate
1.2. Tujuan Penelitian          
Penelitian ini bertujuan untuk ;
1.      Untuk mengetahui pertumbuhan karang batu (Acropora formosa) yang ditransplantasikan dengan menggunakan substrat (beton) di perairan pantai Sulamadaha Kota Ternate.
2.      Mengetahui ketahanan hidup dari jenis karang yang di transplantasikan.
1.3. Manfaat Penelitian
            Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah tentang metode transplantasi karang sebagai alternatif dalam menjaga kelestarian dari terumbu karang, dan sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.


II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.            Ekosistem Terumbu Karang
Karang atau disebut polip memiliki bagian-bagian tubuh terdiri dari mulut yang dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri, rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovascular), dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan (Gambar 1). Bertempat di gastrodermis, hidup zooxanthellae yaitu alga uniseluler dari kelompok Dinoflagelata, dengan warna coklat atau coklat kekuning-kuningan (Timotius, 2003).






Gambar 1. Anatomi Karang (Sumber; Ahmad 2007)
Menurut Veron (1995) dalam Wikipedia (2009) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCo3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga  berkapur (Calcareous algae) dan organisme -organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCo3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef -building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi.
Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) dalam Wikipedia (2009) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Selanjutnya Sumich (1992) dalam Wikipedia (2009) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut: Ca (HCO3)              CaCO3 + H2CO3             H2O + CO2 Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae.
2.2  Klasifikasi Karang  Acropora formosa
Dalam Klasifikasi dunia Hewan, Karang Termasuk Dalam Kelas Anthozoa (suatu kelas dalam filum colenterata). Secara garis besar Veron (1986) dalam Yusuf (2005) Mengklasifikasikan karang  Acropora formosa sebagai berikut :
Filum   : Colenterata/Cnidaria
Kelas   : Anthozoa
Ordo    : Scleractinia
Famili  : Acroporidae
Genus  : Acropora sp
Spesies : Acropora formosa
Gambar 2. Koloni karang Acropora formosa
2.3  Morfologi Karang  Acropora formosa
Marga Acropora mempunyai bentuk percabangan sangat bervariasi dari karimboba, aborsen, kapitosa dan lain-lain. Ciri khas dari marga ini adalah mempunyai axial koralit dan radial koralit. Bentuk koralit juga bervariasi dari bentuk tubular, harifon dan tenggelam.
Acropora formosa mempunyai bentuk percabangan aborsen dengan percabangan rampai  sampai gemuk. Radial koralit membentuk tabung dengan bukan membulat atau oval tersusun merata dan rapat. Warna koloni kecoklatan dengan unjung cenderung memutih. Terbesar di seluruh perairan Indonesia (Wells, 1995) dalam (Suharsono, 1996).
Terumbu  karang di daerah tropis secara fisik didominasi oleh organisme yang hidupnya menetap dalam jangka waktu yang panjang. Karang Scelractinia yang umumnya yang hidup secara berkoloni dan memiliki alga filamen (zooxanthellae) yang hidup pada jaringan  tubuhnya, memiliki banyak bentuk mulai dari tegak seperti pohon, tabel ataupun semak hingga bentuk yang tidak tegak seperti kerak ataupun piringan. Ukuran maksimum, laju pertumbuhan, laju produksi serta kisan habitat yang didiami sangat berbeda tiap spesiesnya (Tomascik, 1991) dalam (Yusuf, 2005).
Karang Acropora berbeda dari yang lainnya dalam hal dua tipe polip yang di milikinya. Polip bagian tengah atau bagian aksial melintasi bagian tengah dari sebuah cabang dan membuka pada unjungnya. Pada saat ujung cabang tersebut tumbuh maka akan membentuk pucuk dengan sejumla polip jenis lainnya disebut polip radial. Percabangan selanjutnya terjadi pada saat sebuah koralit radial berubah menjadi sebuah koralit aksial dan mulai memanjang dan membentuk pucuk. Tipe  perubahan ini memungkinkan terbentuknya sejumlah besar bentukan sehinga karang Acropora  dapat terlihat menyerupai pohon, semak, tabel, pelat dan berbagai bentuk lainnya. Hal ini juga memungkinkan karang genus ini untuk tumbuh cepat dan mengisi tempat pada terumbu, baik di atas maupun di bawah karang lainnya.
Pertumbuhan karang batu (sleractinia) dalam hal ini genus Acropora Spesies dari Acropora formosa lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan jenis karang batu lainnya hal ini disebabkan karena bentuk pertumbuhan karang ini adalah bercabang (branching) sehingga proses kalsifikasi yang terjadi lebih cepat. Sedangkan jenis karang yang bentuk pertumbuhannya seperti otak (masif) pertumbuhannya sangat lambat karena memerlukan kalsium karbonat (CaCO3) yang banyak sehinga proses kalsifikasi yang ada berjalan sangat lambat.
2.4  Parameter Lingkungan
Pertumbuhan karang dan penyebaran terumbu karang tergantung pada kondisi     lingkungannya, Dahuri dkk, (2004). Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan baik yang berasal dari alam atau aktifitas manusia. Faktor kimia dan fisik yang diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan karang antara lain cahaya matahari. suhu, salinitas dan sedimen, sedangkan faktor biologis biasanya berupa predator atau pemangsa (Supriharyono, 2000).
 2.4.1 Cahaya
Sinar matahari merupakan hal yang sangat penting dalam melengkapi cahaya yang di butuhkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Tumbuhan tidak dapat hidup terus tanpa adanya cahaya matahari yang cukup, sehingga penyabarannya di batasi pada daerah kedalaman dimana cahaya matahari masi dapat dijumpai. Penyinaran matahari akan berkurang secara cepat sesuai dengan makin tinggi kedalaman laut (Hutabarat dan Evans, 1984).
Karang hermatipik membutuhkan cahaya yang cukup untuk kegiatan fotosintesa dari alga yang berada dalam jaringannya. Dalamnya penetrasi cahaya yang menentukan jangkauan kedalaman yang dapat dihuni oleh karang hermatipik (Lalamentik, 1991).
Berkaitan dengan pengaruh cahaya terhadap karang, maka faktor  kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih mungkin penetrasi cahaya  bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, namum  secara umum karang tumbuh lebih baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman, 1964 dalam supriharyono, 2000).
2.4.2        Suhu
Pada permukaan laut, air murni berada dalam kedalaman cair pada suhu tertinggi 100ÂșC dan suhu terendah 0ÂșC. karena adanya salinitas dan densitas maka air laut dapat cair pada suhu dibawah 0ÂșC. Suhu air laut berkisar antara suhu  dibawah 0ÂșC sampai 33ÂșC. Perubahan suhu dapat berpengaruh kepada sifat-sifat laut lainnya dan kepada biota laut (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Selanjutnya Nontji (2002) menyatakan bahwa hewan laut hidup dalam batas-batas suhu yang tertentu, ada yang mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, sebaliknya adapula yang mempunyai toleransi kecil.
Suhu merupakan faktor penting yang menetukan kehidupan karang, Supriharyono (2000), selanjutnya ditambahkan oleh Wells (1959) dalam Supriharyono (2000) bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-29ÂșC, dengan perkembangan paling optimal pada perairan yang memiliki rata-rata suhu tahunannya antara 23 - 25ÂșC (Tomascik, 1991 dalam Yusuf 2005).
2.4.3        Salinitas
Salinitas secara umum dapat disebut sebagai jumlah kandungan garam dari suatu perairan, yang dinyatakan dalam permil (‰). Kisaran salinitas air laut berada antara 0 – 40 g/kg air laut. Secara umum, salinitas permukaan perairan Indonesia rata - rata berkisar antara 32 – 34 ‰ (Dahuri dkk, 2004).
Nybaken (1988) menyatakan bahwa karang hermatipik adalah organisme lautan yang tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dan salinitas yang normal yaitu 32 – 35 ‰ (Nybaken, 1988).
2.4.4        Arus
Arus merupakan gerakan air yang sangat luas terjadi pada seluruh dunia, Hutubarat dan Evans (1984). Kemudian Nontji (2002) menyatakan bahwa arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan densitas air laut atau pula dapat di sebabkan oleh gerakan gelombang panjang.
Karang Acropora menurut Bengen (1995) tergolong sensitive karena membutuhkan kecerahan perairan yang tinggi dan perairan terbuka dengan sirkulasi air yang bebas. Karakteristik lingkungan seperti ini diperlukan karena tipe karang ini tidak dapat membersikan diri sendiri sebab memiliki polip yang relatif kecil sehingga memerlukan ombak dan arus yang sesuai. Smith (1992) dalam Lalamentik (1991) menambahkan bahwa semakin cepat arus dapat membantu karang dalam menghalau sedimen yang terjadi dalam proses pembersihan diri.
2.4.5  Sedimentasi
Sedimentasi merupakan masalah yang umum di daerah tropis, pembangunan di daerah pantai dan aktifitas manusia seperti pengerukan dan pembukaan hutan menyebabkan pembebasan sedimen ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang (Supriharyono, 2000). Selanjutnya Abdullohmukhtar (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan karang, seperti di Pantai Bandengan, Jepara, Jawa Tengah, lambat pada musim hujan karena banyaknya sedimen. Sebaliknya cepat pada musim kemarau. Sebagai contoh, pertumbuhan Acropora aspera hanya sekitar 1-2 mm/bulan pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau mencapai > 10 mm/bulan.
Menurut Dahuri dkk, (2001) sedimentasi dapat menyebabkan kematian pada karang baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedimentasi yang dapat langsung mematikan binatang karang mempunyai ukuran yang besar atau banyak sehingga dapat menutupi polib karang (Hubbard dan Pocock, 1972; (bak dan Elgersuizen, 1976) dalam Supriharyono, 2000). Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah terjadinya penurunan penetrasi cahaya matahari yang penting untuk fotosintesis alga simbion atau zooxanthellae, dan banyaknya energi yang dikeluarkan untuk menghalau sedimen yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard, 1985 dalam Supriharyono, 2000).
Menurut Pastrook dan Bilyard, 1985; dalam Supriharyono, 2000, menyatakan bahwa laju sedimentasi antara 1-10 gr dalam kategori kecil-sedang, pada 10-50 dalam kategori sedang-bahaya dan pada kategori bahaya-katastropik mencapai < 50. Selanjutnya Lalamentik (1991) menyatakan bahwa banyak tipe sedimen yang muncul pada dan sekitar terumbu karang, termasuk didalamnya hancuran karang yang kasar, berbagai tipe pasir dan lumpur yang halus.
2.5      Pertumbuhan Karang Transplantasi
Seperti hewan lain, karang memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual adalah reproduksi yang tidak melibatkan peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Pada reproduksi ini, polip/koloni karang membentuk polip/koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka. Ada pertumbuhan koloni dan ada pembentukan koloni baru sedangkan reproduksi seksual adalah reproduksi yang melibatkan peleburan sperma dan ovum (fertilisasi). Sifat reproduksi ini lebih komplek karena selain terjadi fertilisasi, juga melalui sejumlah tahap lanjutan (pembentukan larva, penempelan baru kemudian pertumbuhan dan pematangan) (Timotius, 2003).
Salah satu perbandingan reproduksi aseksual dan seksual dipandang dari sisi ketahanan dan adaptasi terhadap lingkungan adalah waktu pembentukan anakan, untuk reproduksi aseksual karang membutuhkan waktu yang singkat untuk tumbuh sedangkan untuk reproduksi seksual karang membutuhkan waktu dan proses lebih panjang untuk pertumbuhan, ini dikarenakan karena pada reprodusi aseksual karang dibentuk oleh potongan atau rangka dari induk karang sedangkan pada reproduksi seksual tidak  (Timotius, 2003).
Koloni karang hermatiphik mengandung alga (zooxanthellae) yang hidup bersimbiosis dengan terumbu karang. Zooxanthellae yang di koloni karang membentuk bangunan karang. Gereau dan Gereau (1959) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa merupakan factor yang esensial dalam proses klasifikasi atau produksi kapur bagi hermathipic corals atau reef building corals. Pertumbuhan setiap spesies karang berbeda. Spesies tertentu mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat, yaitu bias mencapai 2 cm/bulan (karang bercabang) tetapi ada pula yang mempunyai pertumbuhan sangat lambat yaitu 1 cm/tahun. Menurut defenisi pertumbuhan karang merupakan petambahan panjang linear,   berat, volume, atau luas kerangka atau  bangunan kapur (Calsium) spesies karang dalam kurun waktu tertentu (Budemeier dan Tinzie, 1962 dalam Supriharyono, 2000).
Kecepatan tumbuhan karang juga ditentukan oleh kondisi lingkungan dimana hewan ini berada. Perairan yang kondisi lingkungannya mendukung pertumbuhan karang, maka karang tumbuh lebih cepat di bandingkan dengan daerah yang lingkungannya tercemar (Supriharyono, 2000).
Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2007) karang dari genus Acropora sp  memiliki pertumbuhan pada umur 3 – 6 bulan. Dipilihnya genus Acropora formosa sebagai bahan penelitian dalam transplantasi karang karena, jenis karang ini memiliki awal pertumbuhan, memiliki kisaran pertumbuhan yang cepat serta memiliki ketahanan hidup yang besar. Deslina (2004) kisaran pertambahan panjang genus Acropora formosa adalah 1.20 cm selama 2 bulan, dan menurut Sadarun, (1999) Genus Acropora formosa memiliki ketahan hidup yang besar dari genus Acropora sp lainnya. Genus Acropora formasa juga mengalami Awal pertumbuhan yang cepat dan pertambahan panjang lebih tinggi dibandingkan dengan genus Acropora sp lainnya (Ofri Johan dkk, 2008).
Besarnya ukuran fragmen transplantasi sangat menentukan pertumbuhan dan keberasilan dari transplantasi karang (Ofri Johan dkk, 2008). Horriot dan Fisk (1988) dalam Ofri Johan dkk (2008) mengemukakan bahwa dalam transplantasi karang Acropra sp harus memperhatikan ukuran karang tersebut, ukuran yang lebih kecil akan memiliki tingkat kematian yang tinggi. Pertambahan panjang dipengaruhi oleh sifat biologi model percabangan karang seperti model karang branching arborescent cenderung mempunyai pertambahan panjang mengarah ke atas lebih besar (Sadarun, 1999).
Menurut Deslina (2004), Kisaran yang diperoleh pada pertambahan karang Acropora sp selama 2 (dua) bulan pengamatan adalah 1,34 cm – 1,62 cm , yang ini berbeda dengan kisaran yang diperoleh Sadarun (2000) dengan masa pengamatan 5 (lima) bulan berkisar antara 2,01 cm – 4,91 cm, sedangkan menurut Yahyah (2001) dengan masa pengamatan 6 (enam) bulan berkisar antara 1,49 cm – 3,50 cm. Diduga adanya perbedaan kisaran ini karena pengaruh perairan dan periode waktu pengamatan.
2.6. Ketahanan Hidup Karang Transplantasi
            Data Ketahanan hidup atau keberhasilan hidup fragmen karang dihitung dengan menghitung jumlah fragmen karang yang masih berada di atas substrat transplantasi sampai akhir pengamatan. Penempelan  fragmen pada substrat sangat dipengaruhi oleh kecepatan karang membentuk rangka kapur baru setelah dipatahkan dari induknya. Ketahanan hidup dikatakan mencapai 100% apabila semua fragmen karang yang ditransplantasikan tidak terlepas dari substratnya (Sadarun, 1999).
Tingkat ketahanan hidup fragmen karang transplantasi sangat ditentukan oleh  penempelan fragmen pada karang, sedimen dan turbiditas, ukuran fragmen, gangguan dari spesies pengganggu (ikan, dan keong pemakan karang) serta banyaknya alga di suatu perairan. Amaryllia dkk (2003) menyatakan bahwa penempelan fragmen pada substrat sangat dipengaruhi oleh kecepatan karang membentuk rangka kapur baru setelah dipatahkan dari induknya, setelah fragmen merekat pada substrat maka energi yang awalnya digunakan untuk membentuk kerangka kapur baru (regenerasi) dialihkan untuk pertumbuhan dan memperbesar ukuran diameter sehingga karang mencapai ukuran idealnya.
Dodge dan Vaysnis (1977) dalam Ofri Johan dkk (2008) mengemukakan bahwa sedimen dan turbiditas yang terus meningkat akan menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan dan meningkatkan angka kematian karang, Selanjutnya Bak dan Criens (1981) dalam Ofri Johan dkk (2008) bahwa keberasilan hidup dari karang transplantasi sangat ditentukan oleh ukuran fragmen karang.
Kematian dari fragmen karang juga ditentukan oleh hewan pemakan karang yang bersembunyi dan menempel  di percabangan karang yang umumnya adalah jenis Drupella sp dari kelompok hewan kekerangan. Selain itu kematian juga ditentukan oleh  alga yang menutupi fragmen karang sehingga terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman (Ofri John dkk 2008), Seperti yang dikemukakan oleh Bak dan Criens (1981) dalam Ofri Johan dkk (2008) bahwa keberasilan hidup dari karang transplantasi juga di tentukan oleh Filamentous algae (turf algae). banyak alga disuatu perairan disebabkan oleh kelimpahan nutrient yang dapat menyebabkan terganggunya proses klasifikasi, laju pertumbuhan, jumlah zooxantellae dan dan jumlah populasi karang (Hoegh dan Guldberg (1997) dalam Ofri Johan dkk (2008)).


2.7. Transplantasi Karang (Coral transplantation)
Transplantasi karang (coral transplantation) adalah pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk dicangkok di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau pembentukan terumbu karang alami. Transplantasi karang berperan dalam mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, dan dapat pula dipakai untuk membangun daerah terumbu karang baru yang sebelumnya tidak ada (Harriott, 1988 dalam Anonim, 2010).
Kegiatan transplantasi di Indonesia telah dilakukan di Pulau Pari Kepulauan Seribu dengan menggunakan substrat keramik, beton dan gerabah. Tujuannya adalah untuk program percontohan dalam merehabilitasi pulau-pulau yang kondisi terumbu karangnya sudah rusak serta dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata laut, program pendidikan, penelitian dan uji coba dibidang perdagangan
Dimasa mendatang transplantasi karang akan memiliki banyak kegunaan antara lain: untuk melapisi bangunan-bangunan bawah laut sehingga lebih kokoh dan kuat untuk memadatkan spesies karang yang jarang atau terancam punah dan untuk kebutuhan pengambilan karang hidup bagi hiasan akuarium (Moka, 1995 dalam Anonim, 2010).
2.7.1 Teknik-Teknik Transplantasi Karang
Beberapa teknik untuk meletakan karang yang di transplantasikan adalah semen, lem plastik, penjepit baja, dan kabel listrik plastik.  Dari beberapa percobaan yang telah dilakukan, ada beberapa kententuan untuk transplantasi karang, yaitu (Coremap & Yayasan Lara Link Makassar, 2006):
  1. Untuk transplantasi karang diperlukan suatu wadah beton sebagai substrat dimana karang ditanam.
  2. Jenis karang bercabang lebih cepat pertumbuhannya, dan mampu menyesuaikan dibandingkan karang masif.
  3. Semua lokasi perairan pada dasarnya dapat dilakukan transplantasi dengan syarat kondisi hidrologik masih dalam batas toleransi pertumbuhan karang.
  4. Hasil percobaan pada habitat yang berpasir tetapi dengan kesuburan yang tinggi pertumbuhan karang lebih cepat dibandingkan pada daerah yang karannya rusak.
  5. Wadah karang yang ditransplantasi sebaiknya tidak menghalangi aerasi oleh arus.
Menurut Anonim (2010), karang untuk transplantasi harus diambil dari tempat yang sama dengan tempat pelaksanaan transplantasi terutama dalam hal pergerakan air, kedalaman dan turbiditas. Transplantasi karang dalam koloni besar dapat dilakukan walaupun tanpa memerlukan perlekatan. Tingkat ketahanan hidup karang yang ditransplantasi dapat tinggi walaupun tidak dilekatkan pada substrat asal saja pelaksanaannya dilakukan di daerah terlindung terutama dari aksi gelombang. Untuk mengurangi stres, karang yang akan ditransplantasi dilepaskan secara hati-hati dan ditempatkan dalam wadah plastic berlubang serta proses pengangkutan dilakukan di dalam air.
 Contoh beberapa metode-metode transplantasi karang yang dapat digunakan dapat dilihat pada Gambar 3. Keunggulan dan Kelemahan dari masing-masing metode transplantasi karang dapat dilihat pada Tabel 1.







Gambar 3. Metode - metode transplantasi yang dapat digunakan       
                 Sumber ; Anonim, 2010

Keterangan Gambar:
1.    Patok besi
2.    Karang bercabang
3.    Jaring
4.    Karang masif
5.    Substrat gerabah
6.    Karang Submasif
7.    Rangka Besi

a.       Metode Patok
b.      Metode Jaring
c.       Metode Jaring dan Substrat
d.      Metode Jaring dan Rangka
e.       Metode, Rangka dan Substrat


Tabel 1. Keunggulan dan Kelemahan Beberapa Metode Transplantasi Karang
Metode Transplantasi
Bahan dan Cara Kerja

Keunggulan

Kelemahan

a.      Metode Patok
Patok kayu tahan air atau besi yang dicat anti karat ditancapkan di perairan
Biaya yang dibutuhkan sangat sedikit, pemasangan relative mudah. Gangguan sampah hampir tidak ada. Cocok untuk karang lunak, waktu/lama pekerjaan relative singkat
Tata letak metode patok didasar perairan tidak teratur, karena sangat tergantung dari kondisi dasar perairan. Karang besi dapat menyebkan pencemaran
b.      Metode Jaring
Jaring atau waring bekas dan tali ris dengan ukuran disesuaikan dengan kebutuhan
Bahan muda didapatkan, dapat menggunakan bahan bekas, biaya lebih murah, baik untuk tiap karang massif (bukan bercabang)
Sulit untuk dibersikan, sukar dalam pengukurang terutama untuk mengukur tinggi, pertumbuhan karang tidak rata, kedudukan media didasar perairan kurang stabil
c.       Metode Jaring dan substrat
Jaring yang dilengkapi dengan substrat yang terbuat dari semen, keramik atau gerabah dengan ukuran 10 x 10 cm
Pengukuran relative lebih murah, lebih rapid dan teratur, baik untuk karang yang bercabang.
Biaya lebih mahal, proses pemasangan lebih rumit, membutuhkan tenaga yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama






Lanjutan Tabel 1

Metode Transplantasi
Bahan dan Cara Kerja

Keunggulan

Kelemahan

d.      Metode jaring dan rangka
Rangka besi yang dicat anti karat dan diatasnya ditutupi dengan jaring yang diikat secara kuat dan rapih. Rangka yang ideal berukuran 100 x 80 cm berbentuk bujur sangkar dan pada bagian ujung-ujung bujur sangkar, terdapat kaki-kaki tegak lurus masing-masing sepanjang 10 cm, di bagian bujur sangkarnya ditutupi dengan jaring tempat mengikat bibit bibit transplantasi
Konstruksinya lebih kokoh daripada metode 1,2 dan 3 dapat ditata sesuai dengan keinginan, monitoring dan evaluasi lebih mudah, baik bagi karang massif bercabang, memiliki nilai estetika.
Berbagai karang yang berbentuk bercabang tidak dapat tumbuh dengan tegak, biaya sedikit lebih mahal. Rangka besi dapat menyebabkan pencemaran
e.       Metode Rangka dan Substrat
Metode ini merupakan perpaduan antara metode 3 dan 4. Ukuran diameter substrat + 10 cm dengan tebal 2 cm, panjang patok 5-10cm, bahan patok terbuat dari peralatan kecil yang diisi semen dan diberi cat agar tidak mengakibatkan pencemaran, rangka sebaiknya berbentuk siku berukuran 100 x 80 cm dan diberi cat agar tidak mengakibatkan pencemaran
Lebih koko dan kuat, cocok untuk obyek penelitian, cocok untuk karang lunak dan karang bercabang, memiliki nilai estetika, bernilai ekonomis
Biaya yang dibutuhkan relative mahal, rangka besi dapat menyebabkan pencemaran
Sumber ; Anonim 2010. Pelatihan Ekologi Terumbu Karang; Laporan Akhir, Yayasan Lanra Link Makassar


II. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di perairan pantai Sulamadaha Kota Ternate yang dilakukan selama 4 (Empat) Bulan, yaitu pada bulan November 2010 sampai dengan bulan Pebruari 2011
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
No.
Alat dan Bahan
Kegunaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Peralatan SCUBA
Pisau Selam
Thermometer
(GPS) Global Positioning System
Hand Refraktometer
Secchi disk
Curren meter
Sedimen Trap
Kamera digital bawah laut
Alat tulis bawah air
Kertas label
Kaliper dan jangka sorong
Tali plastik
Kerangka besi
Substrat
Cable ties (belalang)
Perahu
Karang
Alat meyelam
Pemotong sampel
Mengukur suhu air
Menentukan posisi lokasi penelitian
Mengukur salinitas air
Mengukur kecerahan
Mengukur arus
Prangkap sedimen
Untuk dokumentasi
Mencatat hasi pengamatan sampel
Pemberian nama pada sampel
Mengukur Pertambangan Tinggi Karang
Alat bantu pengukur pertumbuhan
Tempat peletakan substrat
Tempat fondasi fragmen karang
Pengikat fragmen dan pengikat substrat
Transportasi
Objek Penelitian


3.3. Metode Pengambilan Data
3.3.1 Survei Lapangan
            Survey lapangan dilakukan dengan cara snorkling menyusuri terumbu karang di perairan pantai Sulamadaha (dalam hol) untuk menentukan jenis karang dan menemukan koloni induk yang digunakan untuk penelitian.
Gambar. 4 Jenis karang Acropora formosa yang digunakan dalam Transplantasi
3.3.2 Persiapan Rak Besi dan Substrat
Sebelum pengambilan data transplantasi karang dilakukan dengan menggunakan metode Jaring, rangka dan substrat. Substrat buatan yang digunakan adalah blok semen, yang terbuat dari campuran pasir, kerikil dan semen lalu dicor berbentuk bulat ukuran diameter 10 cm dan tebal 3 cm. Pada bagian tengahnya dibuat patok tiang setinggi 15 cm. Pada bagian tepinya dibuat 2 lubang pada arah yang berbeda, untuk tempat mengikat substrat pada media penempelan. Rangka, dan Substrat Pada metode ini bahan yang digunakan terdiri dari jaring yang dilengkapi dengan substrat buatan, dengan jarak antara substrat sekitar 20 dan 10 cm. Kemudian metode rangka terbuat dari rangka besi yang dicat anti karat Rangka berukuran 200 x 100 cm berbentuk bujur sangkar dan pada bagian ujung-ujung bujur sangkar terdapat kaki-kaki tegak lurus masing-masing sepanjang 20 cm.
Karang dan substrat

 
20cm
 
200cm
 
100cm
 
Gambar  5. Rangka yang digunakan sebagai tempat untuk mengikat substrat
(sumber; Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007;modifikasi)

3.3.3 Persiapan Lokasi Penelitian
            Induk alam dan induk hasil transplantasi diusahakan berada pada lokasi yang berdekatan dan pada kedalaman yang sama, kemudian rangka besi diturunkan dan diatur letaknya, dan dipatok ke dasaran dengan menggunakan martil dengan tujuan agar rak tersebut tidak terbawa arus.
Gambar 6. Peletakan meja transplantasi
3.3.4 Pemotongan dan Penempatan Fragmen Karang
            Fragmen karang yang ditransplantasikan diambil dengan cara dipotong dari induk alam maupun induk hasil transplantasi. Fragmen dipotong dengan gunting tanaman. Bekas potongan pada induk karang ditandai dengan mengikat kertas bernomor yang yang telah dipres kemudian fragmen karang tersebut diikat pada tiang pipa paralon substrat menggunakan tali pengikat kabel (cable tight). Fragmen karang yang diikat pada substrat harus menempel pada permukaan substrat semen untuk menghindari kesalahan perhitungan pertambahan panjang fragmen.






          


                                                                          2 cm 
                                    Koloni yang di                                                                                                                        ambil                                                   10 cm

                        (a)                                                                          (b)
Gambar  7. (a) Koloni karang yang akan dipotong (b) Substrat dan cara penempatan koloni karang pada substrat (sumber; Deslina 2004)

3.3.5 Pengukuran Parameter Lingkungan
a. Kecerahan
           Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan secchi disk yang diikatkan pada tali kemudian ditenggelamkan kedalam air sampai pada kedalaman tertentu,  yang dilakukan pada daerah transplantasi. Kedalaman tepat saat secchi disk  tidak terlihat (saat dibenamkan) dicatat sebagai D1. Kemudian kedalaman tepat saat sechi disk  terlihat kembali dicatat sebagai D2. Pengukuran kecerahan dilakukan dengan tiga kali ulangan secara diagonal di daerah transplantasi.  Komponen  kecerahan  tersebut menggunakan rumus Carlson, (1997) dalam Docklas, (2010):
Keterangan:          D1 = tinggi saat secchi disk tidak terlihat
D2 = tinggi saat secchi disk terlihat


b. Suhu
  Pengukuran suhu air dilakukan dengan alat menggunakan termometer. Ujung termometer dicelupkan ke dalam air selanjutnya dibaca nilai yang tertera pada skala alat tersebut.
c.  Salinitas
           Pengukuran salinitas dengan menggunakan handrefraktometer yang dilakukan dengan cara mengoleskan aquades pada kaca untuk membersikan dan membuat angka standar nol, kemudian air laut diambil dengan menggunakan pipet dan diteteskan pada kaca obyek, dan untuk memperjelas angka yang ditunjukan, arahkan pengamatan pada sumber cahaya.
d. Arus
Pengukuran kecepatan arus dengan menggunakan Current meter dengan pengukuran  dilakukan langsung oleh seseorang untuk membacanya, biasanya alat ini ditempatkan pada tempat penelitian sehingga terbawa oleh arus air laut kemudian membaca skala yang tertera pada alat.
e.  Sedimentasi
Sedangkan untuk pengukuran sedimen digunakan pipa prangkap (sedimen trap) yang dibuat dari 3 buah pipa PVC berukuran tinggi 10 cm dan berdiameter 10 cm. ketiga pipa tersebut dirangkai menjadi satu dan diikatkan pada besi berdiameter 8 mm dan panjang 15 cm, alat ini ditancapkan pada dasar di sekitar lokasi penelitian dan dibiarkan selama satu bulan, sedimen trap ditutup dan diangkat untuk diambil sedimennya. Sedimen yang diambil kemudian dikeringkan dan ditimbang beratnya di laboratorium. Setelah sedimen diangkat, alat sedimen trap tadi  ditancapkan kembali untuk melihat jumlah sedimen pada bulan berikut.
3.3.6 Pengambilan Data Pertumbuhan
Setelah semua koloni karang dipindahkan ke media transplantasi maka, kegiatan selanjutnya adalah mengukur panjang awal dari koloni yang diambil.
a.       Pencatatan data awal (t0) dilakukan setelah semua berkas patahan karang ditandai dan semua fragmen sudah diletakan pada substrat.
b.      Pencatatan pertumbuhan berikutnya (t1) dilakukan pada kisaran waktu satu bulan setelah perlakuan dengan mengukur pertambahan tinggi, diameter induk karang dan fragmennya. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan data bulan sebelumnya. Pengukuran tinggi dilakukan dengan mengukur koralit aksial cabang tertinggi dari permukaan substrat pada karang sedang pengukuran diameter juga dilakukan dengan mengukur cabang terpanjang dan terlebar dari karang tersebut.
c.       Jumlah fragmen  karang yang masih berada diatas substrat dihitung dan diamati kondisi perekatan fragmen karang pada substrat. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong/caliper dan data yang diperoleh dicatat. Pengukuran pertumbuhan ini dilakukan selama sebulan sekali.
  
dari samping                            dari atas                                  dari atas
Gambar  8.  Pengukuran panjang dan lebar karang yang di transplantasikan (sumber; Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007)

3.3.7 Ketahanan Hidup
            Data Ketahanan hidup atau keberhasilan hidup fragmen karang dihitung dengan menghitung jumlah fragmen karang yang masih berada di atas substrat transplantasi sampai akhir pengamatan. Penempelan  fragmen pada substrat sangat dipengaruhi oleh kecepatan karang membentuk rangka kapur baru setelah dipatahkan dari induknya. Ketahanan hidup dikatakan mencapai 100% apabila semua fragmen karang yang ditransplantasikan tidak terlepas dari substratnya (Sadarun, 1999).
3.4. Teknik Analisis Data
Pencapaian pertumbuhan dari jenis karang yang ditransplantasikan dengan substrat buatan digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :
1.      Pertumbuhan karang yang didasari pada panjang linear akan dihitung dengan mengukur panjang rata-rata dari jumlah cabang karang yang ditransplantasikan dan perubahan nilai rata-rata sesuai periode waktu pengukuran (Supriharyono, 2000) dengan rumus sebagai berikut : Pertambahan panjang cabang = Panjang Cabang Terakhir – Panjang Cabang Awal
2.      Pertumbuhan Relatif dihitung dengan menggunakan rumus Anonimous (2001a) sebagai berikut :
Dimana :
Ln = Panjang Akhir
Lo = Panjang Awal
3.      Tingkat Ketahanan Hidup dihitung dengan menggunakan rumus Auberson (1982); Rotinsulu (1995) dalam  Deslina (2004) sebagai berikut :








IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi
            Sulamadaha merupakan salah satu kelurahan yang terdapat di bagian utara dari Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Sulamadaha terletak pada Posisi 0°50’5” Lintang Utara dan 126°30’ 10” Bujur Timur sampai 0°51’3” Lintang Utara dan 126°31’30” Bujur Timur. Berdasarkan letaknya, sebelah Timur Sulamadaha berbatasan dengan Selat Hiri sebelah Utara dengan Takome dan sebelah Selatan dengan Tobololo. Jumlah penduduk kelurahan Sulamadaha pada tahun 2011 adalah 1,671 jiwa dengan tingkat pendidikan strata satu (S1) dan strata dua (S2) Dengan jumlah 83 orang, diploma satu (D1) dan diploma dua (D2) adalah 3 orang sedangkan jumlah penduduk yang masi bersekolah adalah 262 orang. Untuk mata pencaharian kelurahan Sulamadaha didominasi oleh Petani yaitu 1138 sedangkan untuk mata pencaharian terendah yaitu nelayan dengan jumlah adalah 10 orang nelayan (Data Primer 2011).
Secara umum kondisi topografi dasar perairan Sulamadaha adalah  berkarang, berpasir dan berbatu dengan kondisi pantai yang landai dan curam.  Perubahan parameter oseanografi dapat terjadi secara harian, tahunan dan jangka  panjang khususnya arus dan gelombang. Salah satu faktor penentunya adalah  topografi dasar perairan. Hal ini sama halnya terjadi di perairan Sulamadaha yang  memiliki kecepatan arus dan gelombang yang relatif rendah ke arah pantai  disebabkan karena sebagian perairan pantai dangkal, menjorok kedalam dan di  apit oleh dua gugusan daratan. 
Hasil pengamatan ditemukan keanekaragaman jenis yang  tinggi dari terumbu karang berada pada kedalaman 3 – 10 meter.
4.2 Kondisi Umum Perairan
Kita ketahui bahwa faktor lingkungan sangatlah berpengaruh terhadap pertumbuhan karang, diantaranya adalah cahaya (kecerahan), suhu, sanilitas, kecepatan arus, dan sedimentasi. Berdasarkan data hasil penelitian pengukuran parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini
Tabel 3. Distribusi parameter kualitas perairan di lokasi penelitian
Parameter Kualitas Perairan
Bulan
Kecerahan (m)
Suhu (ÂșC)
Salinitas (ppt)
Kecepatan Arus (m/detik)
Sedimentasi (mg/cm2/hari)
November
8
29
34
0,2
3.25
Desember
8
29
35
0.4
2.12
Januari
7
29
35
0,3
1.15
Pebruari
6
30
36
0,2
1.45

4.2.1 Kecerahan
Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis oleh zooxanthella simbiotik dalam jaringan karang, dapat terlaksana. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang sehingga kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula.
 Dari hasil pengugukuran kecerahan di lokasi transplantasi dari bulan pertama hingga bulan terakhir (Lihar Tabel 3) yaitu berkisar antara 6-8 meter, Berkaitan dengan pengaruh cahaya terhadap karang, maka faktor  kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih mungkin penetrasi cahaya  bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, namum  secara umum karang tumbuh lebih baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman, 1964 dalam supriharyono, 2000).
Ini menunjukan bahwa daerah untuk transplantasi sangat mendukung untuk daerah transplantasi karang, khususnya jenis karang Acropora formasa.
4.2.2 Suhu Perairan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi laju pertumbuhan karang salah satunya adalah suhu. Menurut Well, 1945 dalam Supriharyono, 2000 bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25-29°C.
Hasil pengukuran suhu di lokasi penelitian diperoleh bahwa keadaan suhu berkisar antara 29-30°C pada 4 (empat) bulan. Pada bulan ke empat suhu mencapai 30°C karena dipengaruhi oleh keadaan lingkungan maupun cuaca pada saat pengukuran.
            Hasil pengukuran pada bulan November dan Desember keadaan suhu mencapai 29°C dikarenakan pada 3 bulan pertama adanya hujan dimana dapat mempengaruhi keadaan suhu di perairan sedangkan pada bulan Februari suhu meningkat yaitu 30°C dimana keadaan perairan sudah dalam keadaan normal yaitu tidak adanya hujan.
            Hasil diatas nampak bahwa pengaruh suhu terhadap pertumbuhan karang Acropora di perairan Sulamadaha tidak menonjol atau suhu dalam keadaan normal dan sangat mendukung pertumbuhan karang.
4.2.3 Salinitas Perairan
Faktor lingkungan yang juga mempengaruhi laju pertumbuhan karang adalah salinitas. Salinitas air laut rata-rata daerah tropis adalah sekitar 35‰ dan hewan karang hidup pada kisaran 34-36 ‰ (Kinsman, 1964 dalam Supriharyono, 2000). Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan karang  sangat bervariasi tergantung pada kondisi laut setempat dan atau pegaruh alam seperti run-off, badai hujan, sehingga kisaran salinitas bias berkisar dari 17.5-52.5‰ (Vaughan,1999; Well, 1992 dalam Supriharyono, 1995). Hasil pengukuran selama empat bulan (November-Pebruari) diperoleh salinitas berkisar antara 34-36‰  (Lihat Tabel 3), kondisi ini menunjukan bahwa perkembangan terumbu karang pada kondisi ini sangat baik. Menurut Lalamentik 1991 dalam Yusuf, 2005 bahwa kisaran salinitas yang baik untuk pertumbuhan karang adalah 34 -36‰.
4.2.4 Kecepatan Arus
Arus merupakan gerakan air yang sangat luas terjadi pada seluruh dunia, Karang Acropora menurut Bengen (1995) tergolong sensitif karena membutuhkan kecerahan perairan yang tinggi dan perairan terbuka dengan sirkulasi air yang bebas. Keadaan arus dilokasi penelitian selama empat bulan berkisar atara 0.5000 1.000 m/detik. Dari hasil pengamatan selama 4 (empat) bulan kecepatan arus sebesar 0,2 – 0,4 m/detik, karakteristik lingkungan seperti ini diperlukan karena tipe karang ini tidak dapat membersikan diri sendiri sebab memiliki polip yang relatif kecil sehingga memerlukan gelombang dan arus yang sesuai. Smith (1992) dalam Lalamentik (1991) menambahkan bahwa semakin cepat arus dapat membantu karang dalam menghalau sedimen yang terjadi dalam proses pembersihan diri.
4.2.5 Sedimentasi
Sedimentasi merupakan salah satu faktor utama yang membatasi pertumbuhan karang. Sedimentasi dapat menyebabkan kematian pada karang baik secara langsung maupun tidak langsung, jika ukuran sedimennya itu cukup besar atau banyak sehingga menutupi polip (mulut) karang. Pengaruh tidak langsung adalah melalui penetrasi cahaya dan banyaknya energi yang di keluarkan oleh binatang karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang mengakibatkan menurunnya laju pertumbuhan terumbu karang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar